Selasa, 10 Maret 2015

Relasi antara Global-Dollar-IHSG di tahun 2015

Artikel menarik mengenai relasi antara Global-Dollar-IHSG, saya copas dari Rencana Trading Saham Indonesia (ijin copas pak Satrio Utomo sebagai catatan pribadi), berikut isinya:

DOLLAR 13.000… KOK IHSG NAIK TERUS PAK?

Minggu lalu… adalah sebuah momem penting bagi pergerakan Rupiah. Setelah berbulan-bulan terus melemah terhadap Dollar Amerika (US$), nilai tukar Rupiah akhirnya menyentuh level psikologis 13.000. Satu hal yang kemudian menjadi pertanyaan dari banyak orang adalah: Ketika Rupiah melemah hingga Rp 13.000 untuk setiap US$… mengapa IHSG malah menguat hingga diatas level psikologis 5.500? Mengapa US$ Rp 13.000 tapi IHSG malah naik ke 5.500?

Menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk melihat grafik dari Aliran Dana Asing yang terjadi semenjak akhir 2013, atau yang sering saya sebut sebagai Aliran Dana Asing Jokowi Effect.

150309 Aliran Dana Asing - Reguler

Dari Grafik Aliran Dana Asing di pasar reguler diatas, orang-orang yang skeptis, bakalan mengambil kesimpulan seperti ini: Ah… IHSG bergerak naik.. kan hanya karena pemodal asing yang sudah terperangkap, kembali masuk ke bursa kita. Mereka kan sudah masuk di bulan Desember 2013 ketika US$ masih sekitar Rp 9.000an. Rata-rata beli mereka, pasti juga terjadi pada rata-rata nilai tukar di level Rp 10.000an. Setelah mereka melakukan posisi jual pada periode September 2014 – Januari 2015, mereka juga tidak bisa keluar (mengkonversikan posisinya dalam US$) karena posisinya masih rugi. Itu sebabnya… mereka memang tidak ada pilihan lain untuk tetap pengang Rupiah, masuk (melakukan posisi beli) lagi ke saham Indonesia.

Dugaan seperti itu, bisa saja benar. Ini karena posisi aliran dana asing, saat ini masih belum kembali ke level tertinggi yang sempat dicapai pada tanggal 8 September 2014, dimana pada saat itu pemodal asing sudah membukukan posisi net buy sebesar Rp 46,01 trilyun. Setelah mencapai level terendah pada tanggal 21 Januari 2015 pada level Rp 26,90 trilyun, aliran dana asing yang masuk hingga hari Jumat minggu kemarin, secara hanya mencapai Rp 14,47 trilyun sehingga secara total, aliran dana asing hanya kembali ke level Rp 41,36 trilyun. Dengan posisi dari pemodal asing yang masih lebih rendah dari level tertingginya, bisa jadi mereka ini adalah dana asing yang sudah terlanjur terperangkap dalam Rupiah, dan kemudian memaksakan diri lagi untuk masuk ke Bursa Efek Indonesia, melakukan posisi beli pada saham-saham di bursa kita.

Apakah benar seperti itu?

Well… kalau nanti… besaran dari aliran dana asing ternyata tidak bisa melewati Rp 46,01 trilyun, dugaan itu bisa saja benar. Akan tetapi… saya kok lebih suka mandangnya dari sudut pandang yang lain.

Indonesia: Turn Around Story

Para fund manager asing itu.. paling suka sama yang namanya turn around story. Turn around story itu adalah keadaan dimana kondisi yang cenderung memburuk, kemudian berubah menjadi membaik. Timing untuk melakukan akumulasi pada sebuah saham, bukan ketika laba bersihnya terus menerus menurun. Tapi lebih baik ketika kondisi terburuk dari perusahaan itu sudah berlalu, krisis keuangannya sudah berlalu, dan laba bersihnya mulai bergerak naik. Timing untuk membeli saham misalnya, adalah bukan ketika harga sedang berada dalam sebuah trend turun, tapi lebih bagus ketika titik terburuk sudah terlewati dan harga mulai bergerak menanjak, bergerak naik. Hal itulah yang sedang mereka lihat pada perekonomian Indonesia.



Dari data pertumbuhan ekonomi diatas, bisa kita lihat bahwa dalam kuartal terakhir 2014 kemarin, pertumbuhan ekonomi dari Indonesia, terlihat mulai mengalami perbaikan. Pertumbuhan ekonomi terus menurun dari level 6,4 persen pada kuartal keempat 2012 dan mencapai titik tertburuk pada kuartal ketiga 2014 hingga hanya mencapai level 4,92 persen, pada kuartal keempat 2014 sudah naik kembali ke level 5,01 persen. Level pertumbuhan ekonomi tersebut memang masih tergolong rendah. Akan tetapi, harapan bahwa untuk kedepannya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali membaik, terlihat semakin kuat. Bung Faisal Basri saja, dalam outlook ekonominya yang dipaparkan pada acara J-Club Expo yang saya hadiri kemarin, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal pertama di tahun 2015 ini bisa mencapai 5,3 – 5,4 persen. Untuk tahun 2015 ini, Bung Faisal Basri bahkam memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 6,0 persen! Perkiraan dimana pertumbuhan ekonomi kita sudah melewati masa terburuknya seperti ini, yang kemudian membuat pemodal asing rajin untuk melakukan posisi beli di Bursa Efek Indonesia.

Pak Tommy … Tapi Dollarnya kok 13.000 ?

Dalam perekonomian Dunia, saat ini sedang terjadi perang mata uang (currency war). Currency war ini adalah suatu kondisi dimana negara-negara di dunia sedang berebut untuk melemahkan mata uangnya, dengan harapan bahwa barang ekspor mereka, bisa menjadi lebih kompetitif. Currency war ini berawal dari langkah Bank Sentral Amerika untuk mulai mengembalikan suku bunganya ke level bunga yang normal, setelah krisis yang terjadi pada 2007-2008 telah memaksa mereka untuk meletakkan suku bunga di level 0,25 persen dalam skema Quantitative Easing (QE). Dengan suku bunga US$ yang cenderung naik sesuai dengan Tapering (berakhirnya QE) yang tengah dilakukan, mata uang dari berbagai negara di dunia ini cenderung mengalami tekanan pelemahan. Tidak mau hanya sekedar melemah, Bank Sentral dari berbagai negara di dunia ini malah kemudian ‘sengaja’ melemahkan mata uangnya, agar produk ekspor mereka bisa lebih kompetitif. Maklum saja: kalau ekspor meningkat, berarti perekonomian negara itu bisa berjalan, lapangan kerja tersedia, dan seterusnya. Dalam currency war ini, mata uang akan cenderung melemah, dengan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik.

Langkah dari Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate pada bulan Februari kemarin, memang kemudian dipandang oleh pelaku pasar sebagai posisi dari Bank Indonesia yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi, dibandingkan dengan posisi Rupiah yang kuat. Itulah sebabnya, nilai tukar Rupiah terhadap US$ kemudian melemah, turun dari level 12.500 – 12.700, menjadi di sekitar 13.000 sekarang ini.

Dollar 13.000 … Kok IHSG Naik sampai 5.500?

Perbedaan dari investor asing dan investor lokal, itu sering kali berada pada sudut pandang waktu (time horizon) dari investasinya. Pemodal lokal itu biasanya bingung akan hal-hal yang jangka pendek, sehingga mereka melupakan tujuan yang sebenarnya dari investasi itu sendiri: pertumbuhan aset untuk jangka panjang. Itu sebabnya, pemodal lokal lebih bingung dengan Rupiah yang 13.000 dibandingkan dengan hal-hal yang lainnya. Padahal, pemodal asing tetap konsisten: dengan melihat turn around story yang ada, dengan melihat bahwa kedepan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi, itu yang membuat mereka kemudian terus melakukan aksi beli. Itu yang membuat IHSG terus bergerak naik hingga level 5.500 ini. Perbedaannya terlihat kok.. dari saham-saham yang bergerak naik. Saham-saham sektor konstruksi yang biasanya memang ‘mainan’ dari pemodal lokal, terlihat lebih cenderung stagnan. Yang bergerak naik hanya saham-saham perbankan dan saham-saham big caps lain, yang biasanya merupakan incaran dari investor asing.

Lalu… Apa yang seharusnya dilakukan? Apa yang harus diperhatikan?

Kalau melihat grafik aliran dana asing diatas, jumlah dari dana asing yang berada di bursa, sudah mencapai Rp 41,36 trilyun. Level ini sudah tidak jauh lagi dari level tertinggi yang besarnya Rp 46,01 trilyun itu. Artinya, dalam hari-hari kedepan ini, kita akan melihat: apakah pemodal asing memang benar-benar masuk ke bursa kita, melewati level Rp 46,01 trilyun yang pernah mereka capai pada tahun 2014 lalu, atau mereka hanya sekedar memanfaatkan dana yang ada, karena sudah terlanjur berada dalam Rupiah.

Kalau dari sudut pandang saya, saya kok lebih cenderung mengenai skenario ‘turn around story’ itu tadi, dimana pemodal asing memang masuk, karena mereka melihat bahwa masa-masa terburuk dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, sudah berlalu. Perkara nilai tukar Rupiah yang berada di sekitar level Rp 13.000, saya hanya bisa bilang begini: selama tidak ada kepanikan pada pasar, selama Rupiah tidak bergerak dalam volatilitas tinggi, selama Rupiah tidak bergerak 300 Rupiah per hari, harusnya kita semua, terutama para pemodal, tidak perlu khawatir.

Nilai tukar Rupiah terhadap US$ diatas 13.000 itu tidak masalah, selama tidak terlihat adanya kepanikan.
Toh.. pelemahan mata uang itu adalah fenomena global. Harapannya kemudian adalah, bahwa nilai tukar kemudian akan cenderung membaik, seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan terkendalinya neraca perdagangan. Anda coba lihat itu yang namanya Perang Beras. Pemerintah benar-benar keukeuh, bertahan tidak mau mengimpor beras, meski harga beras melambung tinggi. Itu bisa jadi indikasi bahwa Pemerintah benar-benar tidak main-main dalam ‘menjaga’ neraca perdagangan agar tidak defisit. Pemerintah tidak mau neraca perdagangan kemudian bergejolak, hanya untuk meredam pergerakan harga sesaat. Toh stok beras sebenarnya cukup. Hanya musim panennya saja yang belum datang.

Jadi… apakah anda hanya akan termangu saja, menunggu di pingir lapangan, diluar pasar modal karena ketakutan US$ yang Rp 13.000 itu? Sebaiknya jangan. Nanti kalau pada bulan April 2015 data pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2015 ternyata benar-benar tinggi, harga saham tentunya juga sudah lebih tinggi lagi. Anda akan sangat terlambat, ketika memutuskan untuk masuk setelah data tersebut keluar di bulan April nanti.

Sumber:
Rencana Trading Saham Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar