Sabtu, 18 Pebruari 2017
Keberadaan uang muka atau down payment (DP) adalah sebuah keniscayaan bagi suatu pembiayaan atau kredit bagi kepemilikan rumah (KPR). Saya kira, tidak hanya untuk KPR, tetapi hampir seluruh pembiayaan yang melibatkan bank pasti membutuhkan DP. Contoh, bank tidak akan membiayai suatu kegiatan investasi atau memberikan modal kerja untuk pembiayaan operasional perusahaan, kalau ternyata debitur tidak memiliki cash sebagai dana pendamping. Biasanya, bank akan memberikan pinjaman sebesar kebutuhan dengan catatan, misalnya, sekitar 20%-30% dari total kebutuhan pembiayaan harus disediakan oleh si pemilik usaha atau calon nasabah. Nah, keharusan bagi calon nasabah atau pemilik usaha untuk menyediakan dana pendamping sebesar 20%-30% dari total kebutuhan pembiayaan ini sesungguhnya esensinya sama dengan perlunya DP dalam kredit/pembiayaan kepemilikan perumahan.
Kenapa DP atau dana pendamping ini perlu? Pertama, sebagai alat berbagi risiko (sharing risk) antara pihak bank dan pihak pemilik usaha atau konsumen/calon nasabah. Kedua, bukti komitmen dari pemilik usaha atau konsumen/calon nasabah bahwa mereka serius untuk menjalankan usahanya tersebut atau serius untuk memiliki rumah dan bersedia membayar cicilan secara tepat waktu dan tepat jumlah. Sebab, tanpa ada DP atau dana pendamping dikhawatirkan akan menimbulkan moral hazard dari sisi si pemilik usaha atau konsumen atau calon nasabah, misalnya dengan tidak serius menggarap usahanya atau tidak berkomitmen membayar cicilan rumahnya. Dengan kata lain, keberadaan DP adalah sebuah keniscayaan.
Namun demikian, kalau konsep DP ini diberlakukan apa adanya (market mechanism), saya kira akan banyak orang miskin yang tidak bisa mengakses bank untuk pembiayaan usaha mereka dan akan banyak orang yang tidak bisa memiliki rumah tinggal yang layak karena keterbatasan dana yang harus disediakan sebagai DP. Karena itulah, perlu ada campur tangan pemerintah agar ketentuan kewajiban DP dan dana pendamping tersebut tidak menjadi halangan bagi kelompok masyarakat miskin untuk memiliki usaha dan rumah. Di sinilah kehadiran pemerintah diperlukan.
Dalam tataran kebijakan di tingkat pusat, sebenarnya itu sudah dipraktekkan. Beberapa contoh berikut bisa dijadikan sebagai rujukan.
PERTAMA, Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pemerintah menciptakan KUR adalah dalam rangka membantu rakyat yang memiliki usaha yang layak tetapi tidak memiliki jaminan tambahan (yang esensinya mirip DP) sehingga sulit mendapatkan pembiayaan dari bank untuk pengembangan usaha. Pemerintah menciptakan KUR dengan skema: (1) bank tidak memberlakukan jaminan tambahan (yang nota bene esensinya mirip dengan DP); (2) memberikan subsidi bunga kredit dan kepada pemilik usaha mikro dan kecil.
KEDUA, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Kredit ini diciptakan untuk membantu pekebun (kebanyakan sawit) yang memiliki lahan sempit (pekebun rakyat) sehingga tidak layak untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Skimnya adalah pemerintah mengajak pekebun besar (korporasi) sebagai avalis (penjamin) bagi pekebun rakyat. Dengan cara ini, maka bank bisa menyediakan pinjaman kepada pekebun rakyat, mesikpun si pekebun rakyat tidak memiliki dana pendamping, karena sudah ada pekebun besar yang menjadi penjaminnya. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi bunga kredit bagi pekebun rakyat agar cicilan kredit mereka terjangkau.
KETIGA, Kredit Kepemilikan Perumahan Rakyat atau yang dikenal Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Melalui skema FLPP ini, pemerintah menyediakan fasilitas likuiditas kepada bank agar bisa memberikan kredit/pembiayaan kepada masyarakat kelompok sasaran: miskin. Dengan skema FLPP ini, kelompok masyarakat miskin dimudahkan untuk bisa memiliki rumah dengan beban yang ringan. Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan subsidi bunga kepada bank, sehingga bunga kredit KPR yang dibayar oleh masyarakat miskin menjadi lebih rendah. Melalui FLPP ini, DP kepemilikan rumah bisa ditekan serendah mungkin bahkan hingga 1% saja, sebagaimana dipraktekkan oleh KPR Bersubsidi di Bank Tabungan Negara (BTN). Berikut link-nya:
http://www.btn.co.id/id/content/Produk/Produk-Kredit/Kredit-Perorangan/KPR-Bersubsidi
Dengan kata lain, sebenarnya kebijakan DP 0% atau Rp0 sesungguhnya sangat dimungkinan. Namun demikian, gagasan ini tidak berarti menghapuskan keberadaan DP yang diberlakukan oleh bank. Kebijakan DP 0% atau Rp0 ini adalah mengalihkan kewajiban DP dari yang sebelumnya ditanggung konsumen atau calon nasabah kepada PIHAK LAIN.
Pertanyaannya: siapa yang dimaksud PIHAK LAIN ini? Bisa bank bersangkutan dan juga bisa pihak developer. Namun, agar bank dan developer bersedia menanggung risiko atas ditiadakan kewajiban menyediakan DP oleh nasabah, maka mereka harus disupport oleh pemerintah. Pemerintah disini bisa pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Apakah kebijakan DP 0% atau Rp0 ini bertentangan dengan regulasi Bank Indonesia? Jawabnya tidak. Karena BI pun juga memberikan kelonggaran (relaksasi) terhadap kewajiban penyediaan DP bagi kredit kepemilikan rumah (KPR) bila itu merupakan program pemerintah. Kelonggaran ini diatur dalam PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/16/PBI/2016 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR.
Pasal 17 disebutkan: “Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan ini dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku.”
Kalau temen-temen ingin mengetahui aturan detilnya tentang ketentuan DP ini, silahkan download di sini:
http://www.bi.go.id/id/peraturan/ssk/Pages/PBI_181616.aspx
Lalu, bentuk dukungan/support atau campur tangan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah (termasuk pemerintah daerah) agar DP 0% ini dapat dijalankan? Pertama, bisa berupa penjaminan pemerintah kepada bank atau kepada developer bahwa meskipun KPR diberikan kepada masyarakat tanpa DP, apabila terjadi gagal bayar (default) oleh nasabah, pemerintah yang akan menjaminnya (membayarnya). Kebijakan ini sangat masuk akal dan tidak membebani keuangan pemerintah. Sebab, realisasi kerugian baru akan terjadi kalau nasabah gagal bayar. Dengan mekanisme yang selektif, terjadinya kerugian dapat diminimalisir. Kebijakan sejenis ini telah dipraktekkan oleh pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Kedua, pemerintah mensubsidi DP tersebut. Pemerintah daerah menyediakan anggaran subsidi DP yang diberikan kepada bank atau developer. Seperti model FLPP, pemerintah daerah misalnya dapat menyediakan bantuan likuiditas sehingga risiko bagi developer dan bank bisa diminimalisir dan kewajiban DP yang harus ditanggung masyarakat atau nasabah KPR bisa ditekan serendah mungkin. Apakah ini tidak membebani keuangan daerah? Yang jelas pasti ada anggaran yang harus dialokasikan. Tetapi, tidak terlalu besar, terlebih bila program pemerintah daerah ini dikombinasikan dengan Program FLPP di tingkat pusat. Pemerintah Pusat pasti akan mendukung program pemerintah daerah ini, karena akan semakin meringankan beban kelompok masyarakat miskin untuk memiliki rumah dengan biaya yang lebih terjangkau.
Ketiga, adalah kombinasi dari kedua bentuk dukungan di atas: penjaminan pemerintah dan subsidi DP.
Keempat, ini di luar aspek DP, tetapi tetap penting adalah pemerintah memberikan subsidi berupa subsidi bunga agar beban cicilan kredit menjadi semakin rendah. Dengan cicilan yang lebih rendah, maka risiko gagal bayar menjadi semakin kecil. Sehingga, meskipun tanpa DP, baik pihak bank dan developer tidak akan terekspos/mengalami kerugian.
Tentunya, program DP 0% atau DP Rp0 ini tidak berlaku bagi semua warga. Karena ini program pemerintah, maka penerimanya juga harus selektif, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya, untuk kepemilikan rusunawa (di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang harga tanahnya mahal). Dengan jangkauan seperti ini, maka DP 0% atau Rp0 sangat feasible bagi keuangan daerah dan akan sangat membantu bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin memiliki hunian sendiri secara layak.
Sedangkan bagi kelompok masyarakat yang telah mampu, mereka dapat memiliki rumah dengan skim komersial, bukan subsidi. Saat ini, skim komersial pun sudah banyak bank yang menawarkan program KPR dengan DP 0% dengan skema-skema tertentu sebagaimana yang dipraktekkan oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) berikut ini:
https://www.syariahmandiri.co.id/2010/05/pembiayaan-griya-bsm-dp-0/
Intinya, kebijakan KPR dengan DP 0% sangat mungkin diberlakukan. Yang penting adalah kehadiran pemerintah sangat diperlukan. Sehingga, masyarakat kelompok miskin dan berpenghasilan rendah dapat memiliki rumah hunian yang layak. Bukankah sudah menjadi kewajiban pemerintah dan negara untuk menyediakan hunian yang layak bagi rakyatnya?
Demikian, semoga tulisan yang agak panjang ini bermanfaat.***
Salam,
by Sunarsip, Founder The Indonesia Economic Intelligence.
Sumber: Mungkinkah DP 0% atau Rp 0 untuk KPR? Sangat Mungkin !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar