Selasa, 21 Februari 2017

"Ahok Sinking Effect", Suara PDIP di beberapa Daerah Kocar Kacir dan Rontok

Rabu 15 Februari 2017 kemaren pemilihan kepala daerah di 101 daerah (7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 kota) telah berhasil diadakan secara serentak dibeberapa daerah dan hasilnya pun setidaknya sudah dapat diprediksi baik melalui Quick Qount beberapa lembaga survey maupun Real Qount KPUD masing-masing diseluruh Indonesia.

Yang menarik dari beberapa pilkada serentak di beberapa daerah tersebut beberapa calon yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), baik beserta koalisinya maupun yang di usung PDIP sendiri hasilnya ternyata dari 101 pilkada, kemungkinan 47 pasang calon sekaligus di 47 Pilkada tersebut PDIP mengalami kekalahan.

Pasangan calon yang diusung PDIP maupun beserta koalisinya menarik untuk dicermati karena PDIP sendiri untuk 5 tahun ini nota benenya adalah partai pemenang pemilu 2014 sekaligus partai penguasa, bahkan dibeberapa daerah diantaranya Incumbent. Kok Bisa?? 

Fenomena rontoknya suara PDIP sebenarnya tidak terlepas dari effek negatif Ahok yang menjalar sampai kedaerah-daerah lainnya. Beberapa Kebijakan dan Perilaku buruk Ahok sebagai orang nomor satu di ibukota negara menjadi pusat perhatian rakyat.

Keputusan PDIP mengusung calon petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada pilkada DKI Jakarta 2017 telah berimbas pada tenggelamnya suara PDIP dibeberapa daerah dan menjadi tamparan keras bagi PDIP.

Seperti diantaranya di Banten, Pasangan PDIP Rano Karno dan H. Embay Mulya Syarief (49.07%) kalah dari Dr. H. Wahidin Halim, MSi dan H. Andika Hazrumy, S.Sos., M.AP (50.93%, di Yogyakarta Pasangan PDIP Imam Priyono D Putranto, S.E., MSi dan Achmad Fadli (49.70%) kalah dari Drs. H. Haryadi Suyuti dan Drs. Heroe Poerwadi, MA (50.30%),

Di Salatiga Pasangan PDIP Drs. Agus Rudianto, MM dan Dance Ishak Palit, M.Si (49.48%) kalah dari pasangan Yuliyanto, SE.,MM dan Muh Haris, SS.,M.Si.(50.52%), di Bekasi Pasangan PDIP Meilina Kartika Kadir, S.Sos, M.Si dan Abdul Kholik, SE, M.Si hanya 9.58%.

Di Tasikmalaya Pasangan PDIP R. Dicky Candranegara dan Drs. H. Denny Romdony (22.54%) kalah dengan Drs.H.Budi Budiman dan H.Muhammad Yusuf (40.06%), Di Cilacap Pasangan PDIP Taufik Nurhidayat dan Hj. Faiqoh Subky, SH.,M.Pd (27.24%) kalah dari H. Tatto Suwarto Pamuji dan Syamsul Auliya Rahman, S.STP, M.Si (56.31%).

Di Gorontalo PDIP Hana Hasanah Fadel dan H. Tonny s. Junus (25.86%) kalah dari Drs. H. Rusli Habibie, M.AP dan DR. Drs. Hi. Idris Rahim, MM (50.65%), dan Di Kupang Calon Wali Kota Kupang inkumben, Jonas Salean, yang berpasangan dengan Nikolaus Frans yang diusung PDIP (47.14%) kalah dari pasangan Jefri Riwu Kore-Herman Man (52.86%).

Ahok yang cukup kontroversial dan notabene telah berstatus terdakwa penistaan Agama dan selalu bikin onar tersebut dengan alamiahnya telah memunculkan effect negatif yang tidak hanya di DKI Jakarta saja, melainkan seluruh pelosok negeri dari Sabang hingga Merauke.

Rakyat menaruh perhatian khusus terhadap sosok Ahok yang dianggap publik seorang yang kebal hukum, sok berprestasi dan benar sendiri. Sehingga sangat naif jika Ahok yang didukung partai-partai besar, jaringan media besar, kekuasaan besar dan modal yang besar pula, sekaligus sebagai incumbent ternyata hanya memperoleh suara 42%, jadi sejatinya Ahok sudah keok.

Sentimen Sara dan berbagai kebijakan Ahok semasa menjabat Gubernur DKI yang tidak pro rakyat (penggusuran, skandal off budget dan sengkarut reklamasi) dan ditambah kesombongan  Ahok jelas telah memunculkan (Ahok Sinking Effect/effek negatif Ahok) yang dipastikan juga menenggelamkan beberapa kolega maupun kendaraan politik (partai Politik) yang selama ini mendukung Ahok.

Beberapa pihak yang selama ini dituding telah melindungi Ahok, seperti Presiden Jokowi pun ikut tenggelam. Padahal sikap presiden Jokowi telah berulang kali menyatakan ke publik bahwa dirinya dan pemerintahannya tidak sedang melindungi Ahok alias Netral.

Ahok efect memang luar biasa dahsyat, seluruh pihak yang nyata-nyata melindungi, membela dan apalagi mendukung Ahok seperti PDIP faktanya pelan tapi pasti kocar-kacir dan makin tenggelam. Kepercayaan Rakyat terhadap PDIP beserta tokoh-tokoh vokal pendukung Ahok rontok.

Bahkan berbagai pihak meyakini, jika PDIP tidak segera sadar diri kemungkinan besar yang terjadi suara PDIP di 2019 mendatang hanya akan berkisar 10% yang sebelumnya di 2014 berkisar 19% Suara Nasional.

Ahok effect sangat kuat imbasnya terhadap beberapa ketua umum partai politik besar dinegeri ini, salah satunya Megawati Sukarno Putri ketua umum PDIP.

Entah nekat atau sekedar Egois, yang jelas “Ahok Effect” pelan tapi pasti telah meruntuhkan nama besar Megawati Sukarno Putri dan sekaligus Suara PDIP kocar kacir tak terkontrol. Feeling dan naluri politik Megawati memilih Ahok  nyatanya jeblok.

Kesalahan membela dan mengusung Ahok sebenarnya kesalahan yang tidak perlu terjadi jika saja para elit parpol pendukung Ahok, seperti Megawati mampu benar-benar memahami dan mendengar suara rakyat. Bukan egoisme, kesombongan, apalagi demi kepentingan dirinya sendiri.

PDIP akan mengalami goncangan sampai 2019 mendatang akibat keputusan sembrono Megawati mengusung Ahok, hal ini jelas kontras dengan pengalaman PDIP pada pemilu 2014 yang lalu, walaupun tidak maksimal dan signifikan, namun Jokowi Effect pada pemilu 2014 jelas terasa dan mampu meningatkan elektabilitas suara PDIP dengan perolehan suara 19% setelah sebelumnya pada pemilu 2009 suara PDIP hanya 14%.

Ahok hanya menjadi beban elektabilitas PDIP, Megawati dan otomatis pemerintahan Jokowi kena getahnya. Ngotot membela dan mendukung si penista Agama jelas hanya tindakan bodoh dan langkah bunuh diri. Ahok seperti benalu yang sangat tidak ada manfaatnya untuk partai politik, rakyat dan Republik ini. Sudah seharusnya para pendukung Ahok, utamanya PDIP harus segera mengambil jalan tegas membuang jauh-jauh si penista Agama tersebut.

Sumber: Suara PDIP di beberapa Daerah Kocar Kacir dan Rontok



Tidak ada komentar:

Posting Komentar